Kisah Buhaira Sang Rahib
Shahih Sirah Nabawiyah Karya Dr. Akram Dhiya Al-Umuri
Diterjemahkan Oleh Farid Qurusy, Imam Mudzakir, Amanto Surya Langka, dan Abdur Rahman
Kisah Buhaira Sang Rahib
Abu Thalib mengajak Rasulullah dalam perjalanan dagang menuju Syam dan umur beliau ketika itu 9 atau 10 atau 12 tahun sesuai perbedaan riwayat yang ada. Seorang Rahib yang mengaku bernama Buhaira di kota Bushra mengajak orang-orang dari kafilah Quraisy berkenan datang ke tempat kediamannya untuk dijamu.
Sanad Kisah Buhaira Sang Rahib
Ketika ia mengetahui Nabi dari sifat-sifat dan tanda-tanda yang ada pada diri beliau, dia mengetahui bahwa beliau yatim, membawa cap kenabian di antara dua pundaknya, melihat awan yang melindungi beliau dari sengatan matahari dan bayangan pohon yang miring melindungi beliau ketika tidur di dekatnya, riwayat ini ditutup dengan kisah dengan peringatan rahib tersebut kepada Abu Thalib paman Nabi dari gangguan yang mungkin akan dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.
Riwayat terkuat dalam masalah ini terdapat dalam kitab Jami At-Tirmidzi dengan komentar: "Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya selain yang seperti ini " Riwayat ini dishahihkan oleh Al-Hakim. Adz-Dzahabi pun menanggapi riwayat tersebut dengan mengatakan: "Saya mengira hadits ini maudhu' dan sebagiannya bathil." Ia menjelaskan sanggahannya terhadap sanad riwayat tersebut serta matannya lalu ia menyimpulkan bahwa riwayat ini munkar bahkan bisa dipahami dari ucapannya bahwa ia ragu-ragu tentang riwayat itu semuanya. Adapun kritikannya terhadap sanad, ia berkata dari Abdurrahman bin Ghazwan -rawi- bahwa sanadnya banyak terdapat rawi-rawi munkar kemudian ia berkata: "Riwayat yang paling munkar yang dimilikinya adalah hadits yang berasal dari Yunus bin Abi Ishaq mengenai perjalanan Nabi pada usia remaja bersama Abu Thalib menuju Syam." Adapurn
kritikannya terhadap matan hadits, ia berkata: "Hadits ini munkar sekali dimana Abu Bakar ketika itu berusia sepuluh tahun, lebih muda dua tahun setengah dari usia Rasulullah Lalu di manakah Bilal ketika itu? Sebab Abu Bakar baru membelinya setelah rasulullah diangkat menjadi rasul. Dan saat itu ia belum lahir. Juga kalau benar ada awan yang
menaungi beliau bagaimana mungkin bisa menggambarkan miringnya bayangan pohon karena bayangan awan itu akan menghilangkan bayangan
pohon yang jatuh di bawahnya?, Kami sama sekali tidak mendapati bahwa Rasulullah mengingatkan Abu Thalib akan perkataan sang rahib tersebut, kaum Quraisy juga tidak pernah memperbincangkannya. Demikian pula para orang tua tidak pernah bercerita sama sekali tentang hal tersebut, padahal banyak alasan yang mendorong mereka untuk menceritakannya. Bila kejadian seperti itu benar adanya, tentu ceritanya akan menjadi sangat terkenal, dan pasti Rasulullah merasakan adanya tanda-tanda kenabian serta tidak akan mengingkari datangnya wahyu untuk pertama kali di gua Hira, lalu pulang kepada Khadijah dengan penuh kekhawatiran akan terjadi sesuatu pada akalnya. Juga beliau tidak akan pergi ke puncak gunung untuk bunuh diri. Demikian pula jika rasa takut itu sangat mempengaruhi Abu Thalib yang kemudian membawa
beliau kembali pulang (ke Makkah) bagaimana mungkin hati beliau bisa tenang ketika melakukan perjalanan ke Syam membawa barang dagangan Khadijah ?”
Mungkin kita bisa menjadi lebih tenang dengan mengukuhkan perjalanan Nabi bersama pamannya ke Bushra dan peringatan sang rahib Buhaira kepada pamannya akan bahaya Yahudi dan Romawi dengan
bersandar para riwayat At-Tirmidzi dan mencari riwayat-riwayat dhaif lainnya seperti riwayat Ibnu Ishaq dan Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm Al-Anshari1 (wafat 135 H) dan ia
termasuk tabi'in yang memiliki perhatian besar terhadap Sirah. Tetapi sanad Ibnu Ishaq ini mu'dhal dan dhaif sekalipun sebagian besar sejarawan bersandar pada riwayat ini dalam mengisahkan Buhaira. Begitu juga riwayat Abu Majlas Lahiq bin Humaid (wafat 106 H) dengan sanad shahih yang sampai kepadanya, tapi sanad itu mursal. Begitu juga mursalnya Az-Zuhri. Juga adanya dua riwayat dari jalan Al-Waqidi yang ditampilkan oleh Ibnu Sa'ad dan Abu Nu'aim Al-Ashbahani, seperti Al-Waqidi, riwayat-riwayatnya tidak sampai ke derajat yang bisa dijadikan hujjah, bahkan tidak dianggap bisa menguatkan hadits dhaif menurut para ahli hadits.
Sehubungan dengan pengetahuan kita tentang Buhaira, maka sesungguhnya referensi yang ada hampir tidak ada sedikitpun yang sepakat mengenai kisah ini. Bahkan di dalam cerita ini mengandung kesimpang-siuran mengenai namanya, sebagian menyebutkan namanya Jarjies, kadang Jarjis, kadang Sarjies, kadang Sarjis. Di sisi lain, kadang-kadang namanya diambil dari bahasa Arya yang berarti Pilihan, terkadang juga diambil dari bahasa Suryani yang berarti Ilmuwan yang ilmunya luas," terkadang dinisbatkan kepada kabilah Abdul Qais yaitu dengan sebutan Abqasi (yang berarti orang dari kabilah Abdul Qais) di tempat lain dinisbatkan kepada Nasrani dan terkadang dengan nisbat Yahudi.
Demikianlah kisah dari "Kisah Buhaira Sang Rahib" dalam buku Shahih Sirah Nabawiyah Karya Dr. Akram Dhiya Al-Umuri yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Oleh Farid Qurusy, Imam mudzakir, Amanto Surya Langka, dan Abdur Rahman. Semoga karya beliau-beliau dapat menjadi manfaat bagi kita semua. Amin.
Shahih Sirah Nabawiyah Karya Dr. Akram Dhiya Al-Umuri
Diterjemahkan Oleh Farid Qurusy, Imam Mudzakir, Amanto Surya Langka, dan Abdur Rahman
Tulisan ini merupakan lanjutan dari Kisah Sebelumnya yaitu Kelahiran Nabi, Kehamilan Aminah, Wanita-wanita Yang Menyusui Nabi, dan Peristiwa Pembelahan Dada Nabi SAW yang diambil dari buku yang sama yaitu Shahih Sirah Nabawiyah Karya Dr. Akram Dhiya Al Umuri.
Bismillaahirrakhmaanirrakhiim
Kisah Buhaira Sang Rahib
Abu Thalib mengajak Rasulullah dalam perjalanan dagang menuju Syam dan umur beliau ketika itu 9 atau 10 atau 12 tahun sesuai perbedaan riwayat yang ada. Seorang Rahib yang mengaku bernama Buhaira di kota Bushra mengajak orang-orang dari kafilah Quraisy berkenan datang ke tempat kediamannya untuk dijamu.
Sanad Kisah Buhaira Sang Rahib
Ketika ia mengetahui Nabi dari sifat-sifat dan tanda-tanda yang ada pada diri beliau, dia mengetahui bahwa beliau yatim, membawa cap kenabian di antara dua pundaknya, melihat awan yang melindungi beliau dari sengatan matahari dan bayangan pohon yang miring melindungi beliau ketika tidur di dekatnya, riwayat ini ditutup dengan kisah dengan peringatan rahib tersebut kepada Abu Thalib paman Nabi dari gangguan yang mungkin akan dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.
Riwayat terkuat dalam masalah ini terdapat dalam kitab Jami At-Tirmidzi dengan komentar: "Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya selain yang seperti ini " Riwayat ini dishahihkan oleh Al-Hakim. Adz-Dzahabi pun menanggapi riwayat tersebut dengan mengatakan: "Saya mengira hadits ini maudhu' dan sebagiannya bathil." Ia menjelaskan sanggahannya terhadap sanad riwayat tersebut serta matannya lalu ia menyimpulkan bahwa riwayat ini munkar bahkan bisa dipahami dari ucapannya bahwa ia ragu-ragu tentang riwayat itu semuanya. Adapun kritikannya terhadap sanad, ia berkata dari Abdurrahman bin Ghazwan -rawi- bahwa sanadnya banyak terdapat rawi-rawi munkar kemudian ia berkata: "Riwayat yang paling munkar yang dimilikinya adalah hadits yang berasal dari Yunus bin Abi Ishaq mengenai perjalanan Nabi pada usia remaja bersama Abu Thalib menuju Syam." Adapurn
kritikannya terhadap matan hadits, ia berkata: "Hadits ini munkar sekali dimana Abu Bakar ketika itu berusia sepuluh tahun, lebih muda dua tahun setengah dari usia Rasulullah Lalu di manakah Bilal ketika itu? Sebab Abu Bakar baru membelinya setelah rasulullah diangkat menjadi rasul. Dan saat itu ia belum lahir. Juga kalau benar ada awan yang
menaungi beliau bagaimana mungkin bisa menggambarkan miringnya bayangan pohon karena bayangan awan itu akan menghilangkan bayangan
pohon yang jatuh di bawahnya?, Kami sama sekali tidak mendapati bahwa Rasulullah mengingatkan Abu Thalib akan perkataan sang rahib tersebut, kaum Quraisy juga tidak pernah memperbincangkannya. Demikian pula para orang tua tidak pernah bercerita sama sekali tentang hal tersebut, padahal banyak alasan yang mendorong mereka untuk menceritakannya. Bila kejadian seperti itu benar adanya, tentu ceritanya akan menjadi sangat terkenal, dan pasti Rasulullah merasakan adanya tanda-tanda kenabian serta tidak akan mengingkari datangnya wahyu untuk pertama kali di gua Hira, lalu pulang kepada Khadijah dengan penuh kekhawatiran akan terjadi sesuatu pada akalnya. Juga beliau tidak akan pergi ke puncak gunung untuk bunuh diri. Demikian pula jika rasa takut itu sangat mempengaruhi Abu Thalib yang kemudian membawa
beliau kembali pulang (ke Makkah) bagaimana mungkin hati beliau bisa tenang ketika melakukan perjalanan ke Syam membawa barang dagangan Khadijah ?”
Dalam hadits tersebut terdapat banyak lafal munkar menyerupai lafal-lafal (yang biasa dipakai) kaum Sufi, Ibnu 'Adi meriwayatkan maknanya dalam kitab Maghazi yang terkandung dalam peryataannya: "Dan Abu Bakar mengutus Bilal untuk pergi bersama Rasulullah... dan seterusnya", lalu berkata: "Telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim (ia berkata) telah mengabarkan kepadaku' Abu Dawud Sulaiman bin Musa", lalu ia menyebutkan riwayat tersebut secara makna.
Saya memaparkan perkataan Adz-Dzahabi dengan lengkap karena dialah yang paling mengetahui diantara orang-orang yang mengkritik riwayat ini. Terlebih lagi, ia telah membeberkan pernyataannya yang menunjukkan adanya perhatian lebih dalam mengkritik tidak hanya terbatas pada sanadnya saja -sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian ahli hadits-, Ibnu Sayyidin Nas (wafat 734 H) memberikan
komentar terhadap riwayat At-Tirmidzi, dan memperingatkan bahwa dalam matan hadits terdapat kelemahan. Hanya saja, ia membatasi kelemahan itu terdapat pada seputar pengutusan Bilal untuk mendampingi Rasulullah yang terdapat di akhir riwayat. Barangkali Al-Hafidz Adz-Dzahabi (wafat 748 H) dalam mengkritik matan riwayat di atas menyimpulkan dari Ibnu Sayyidin Nas, demikian pula dengan Ibnul Qayyim (wafat 751 H) kelihatannya memperoleh kesimpulan dari Ibnu Sayyidin Nas ketika menjelaskan bahwa penyebutan Bilal dalam riwayat tersebut adalah kesalahan fatal. Bahkan bisa jadi Ibnu Ishaq dianggap sebagai orang pertama yang menimbulkan keraguan pada riwayat tersebut dengan menggunakan konteks tamridh tiga kali!!
komentar terhadap riwayat At-Tirmidzi, dan memperingatkan bahwa dalam matan hadits terdapat kelemahan. Hanya saja, ia membatasi kelemahan itu terdapat pada seputar pengutusan Bilal untuk mendampingi Rasulullah yang terdapat di akhir riwayat. Barangkali Al-Hafidz Adz-Dzahabi (wafat 748 H) dalam mengkritik matan riwayat di atas menyimpulkan dari Ibnu Sayyidin Nas, demikian pula dengan Ibnul Qayyim (wafat 751 H) kelihatannya memperoleh kesimpulan dari Ibnu Sayyidin Nas ketika menjelaskan bahwa penyebutan Bilal dalam riwayat tersebut adalah kesalahan fatal. Bahkan bisa jadi Ibnu Ishaq dianggap sebagai orang pertama yang menimbulkan keraguan pada riwayat tersebut dengan menggunakan konteks tamridh tiga kali!!
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar setelah menukil rekomendasi para ahli hadits terhadap Qurad: "Dalam kitab At-Tirmidzi ia memiliki sebuah hadits yang ia riwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari yang di dalamnya mengandung lafal-lafal munkar."
Ibnu Hajar juga berkomentar ketika menanggapi penyebutan Abu Bakar dan Bilal: "Bahwasanya lafal ini merupakan potongan dari hadits lain yang disusupkan ke dalam hadits tersebut. Dan secara umum potongan hadits itu adalah lemah dan meragukan. Ia bersumber dari salah seorang rawinya."
Dengan menampilkan ini semua, maka menjadi semakin jelas bahwa, kritikan para ahli hadits terhadap riwayat ini hanya menekankan pada matan hadits saja, khususnya pada alinea terakhir dari riwayat yang menyebutkan nama Abu Bakar dan Bilal. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan bahwa Imam Al-Jazari menshahihkan sanadnya dan berkata: "Dan penyebutan Abu Bakar dan Bilal di dalamnya adalah ghairu mahfudz (lemah)." Syaikh Al-Albani juga menanggapi dengan
menyebutkan sesuatu yang terdapat dalam riwayat Al-Bazzar: "Dan pamannya mengutus seseorang untuk menemaninya", yang menyebabkan adanya kemungkinan kuat terjadinya kekeliruan dalam menulis huruf atau lafal pada ungkapan hadits At-Tirmidzi antara Rajula dan Biladi. Akan tetapi tetap terjadi kejanggalan pada lafal Abu Bakar menjadi 'amaahu Dan bagaimanapun juga, adanya kerancuan dan kejanggalan pada bagian akhir (dari riwayat tersebut) bukan berarti bagian yang lain dari riwayat
itu dhaif selama sanadnya shahih. Adapun perkataan Adz-Dzahabi mengenai Qurad yaitu: "Dia memiliki banyak riwayat yang janggal", tidak mempengaruhi tautsiqnya, karena tsiqah bisa saja terjadi pada riwayat-riwayat yang munkar, kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi selama ia tidak sering kali melakukannya. Adapun penolakan Imam Adz-Dzahabi yang berlebihan terhadap semua riwayat yang semata-mata karena adanya berbagai kemungkinan, masih perlu didiskusikan lagi dan tidak tepat jika digunakan sebagai alasan untuk mencela seluruh riwayat yang ada.
menyebutkan sesuatu yang terdapat dalam riwayat Al-Bazzar: "Dan pamannya mengutus seseorang untuk menemaninya", yang menyebabkan adanya kemungkinan kuat terjadinya kekeliruan dalam menulis huruf atau lafal pada ungkapan hadits At-Tirmidzi antara Rajula dan Biladi. Akan tetapi tetap terjadi kejanggalan pada lafal Abu Bakar menjadi 'amaahu Dan bagaimanapun juga, adanya kerancuan dan kejanggalan pada bagian akhir (dari riwayat tersebut) bukan berarti bagian yang lain dari riwayat
itu dhaif selama sanadnya shahih. Adapun perkataan Adz-Dzahabi mengenai Qurad yaitu: "Dia memiliki banyak riwayat yang janggal", tidak mempengaruhi tautsiqnya, karena tsiqah bisa saja terjadi pada riwayat-riwayat yang munkar, kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi selama ia tidak sering kali melakukannya. Adapun penolakan Imam Adz-Dzahabi yang berlebihan terhadap semua riwayat yang semata-mata karena adanya berbagai kemungkinan, masih perlu didiskusikan lagi dan tidak tepat jika digunakan sebagai alasan untuk mencela seluruh riwayat yang ada.
Mungkin kita bisa menjadi lebih tenang dengan mengukuhkan perjalanan Nabi bersama pamannya ke Bushra dan peringatan sang rahib Buhaira kepada pamannya akan bahaya Yahudi dan Romawi dengan
bersandar para riwayat At-Tirmidzi dan mencari riwayat-riwayat dhaif lainnya seperti riwayat Ibnu Ishaq dan Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm Al-Anshari1 (wafat 135 H) dan ia
termasuk tabi'in yang memiliki perhatian besar terhadap Sirah. Tetapi sanad Ibnu Ishaq ini mu'dhal dan dhaif sekalipun sebagian besar sejarawan bersandar pada riwayat ini dalam mengisahkan Buhaira. Begitu juga riwayat Abu Majlas Lahiq bin Humaid (wafat 106 H) dengan sanad shahih yang sampai kepadanya, tapi sanad itu mursal. Begitu juga mursalnya Az-Zuhri. Juga adanya dua riwayat dari jalan Al-Waqidi yang ditampilkan oleh Ibnu Sa'ad dan Abu Nu'aim Al-Ashbahani, seperti Al-Waqidi, riwayat-riwayatnya tidak sampai ke derajat yang bisa dijadikan hujjah, bahkan tidak dianggap bisa menguatkan hadits dhaif menurut para ahli hadits.
Dengan berpijak pada kisah ini, sebagian orientalis berusaha untuk menebarkan tuduhan-tuduhan secara serampangan dan tidak ilmiah.
Yaitu dengan menyatakan bahwa Rasulullah menerima Ilmu Taurat dari Buhaira. Hal tersebut sama sekali tidak rasional," bagaimana mungkin Nabi yang masih berusia 12 tahun menerima Ilmu Taurat pada saat jamuan dimana di sela-sela itu bertemu dengan Buhaira, padahal beliau SAW tidak bisa membaca dan menulis? Belum lagi kendala bahasa, dimana saat itu tidak mungkin ditemukan Taurat atau Injil yang berbahasa Arab.
Dan apabila yang dimaksudkan adalah mengembalikan dasar-dasar Islam kepada Taurat, maka dimana pengaruh ajaran-ajaran Taurat itu dalam kehidupan Nabi sedangkan jarak pertemuan beliau dengan Buhaira dan masa kenabian terpaut 28 tahun!!
Sehubungan dengan pengetahuan kita tentang Buhaira, maka sesungguhnya referensi yang ada hampir tidak ada sedikitpun yang sepakat mengenai kisah ini. Bahkan di dalam cerita ini mengandung kesimpang-siuran mengenai namanya, sebagian menyebutkan namanya Jarjies, kadang Jarjis, kadang Sarjies, kadang Sarjis. Di sisi lain, kadang-kadang namanya diambil dari bahasa Arya yang berarti Pilihan, terkadang juga diambil dari bahasa Suryani yang berarti Ilmuwan yang ilmunya luas," terkadang dinisbatkan kepada kabilah Abdul Qais yaitu dengan sebutan Abqasi (yang berarti orang dari kabilah Abdul Qais) di tempat lain dinisbatkan kepada Nasrani dan terkadang dengan nisbat Yahudi.
Wallahu A'lam
Demikianlah kisah dari "Kisah Buhaira Sang Rahib" dalam buku Shahih Sirah Nabawiyah Karya Dr. Akram Dhiya Al-Umuri yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Oleh Farid Qurusy, Imam mudzakir, Amanto Surya Langka, dan Abdur Rahman. Semoga karya beliau-beliau dapat menjadi manfaat bagi kita semua. Amin.
Lanjut ke Bagian Selanjutnya :
"Rasulullah SAW Menyaksikan Halaful Muthayyibin"
"Rasulullah SAW Menyaksikan Halaful Muthayyibin"
Kembali ke Bagian Sebelumnya :
"Kelahiran Nabi, Kehamilan Aminah, Wanita-wanita Yang Menyusui Nabi, dan Peristiwa Pembelahan Dada Nabi SAW"
"Kelahiran Nabi, Kehamilan Aminah, Wanita-wanita Yang Menyusui Nabi, dan Peristiwa Pembelahan Dada Nabi SAW"
Kembali ke Bagian Pertama :
"Sejarah Makkah Periode Pra Nabi"
"Sejarah Makkah Periode Pra Nabi"
Comments
Post a Comment