Jejak Sejarah Syekh Tolhah Bin Tholabuddin Kali
Sapu Cirebon
Menelusuri Jejak Sejarah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah PP Suryalaya - Tasikmalaya Jawa Barat
Beliau, Syekh
Tolhah bin Tolabuddin dari Desa Kali Sapu, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat adalah tokoh utama pengembangan Thoriqhoh Qodoriyah Naqsyabandiyah
di wilayah Cirebon dan sebagian Jawa Barat sebelah Timur.
Syekh Tolhah
adalah seorang Ulama sufi yang lahir tahun 1825 di daerah Trusmi Cirebon. Beliau
adalah murid Syekh Ahmad Khotib Sambas, seperti halnya Syekh Abdul Karim dari
Banten dan Syekh Kholil dari Bangkalan, Madura.
Kyai Tholabuddin (Pangeran Adhikarya) adalah ayahanda Syekh Tolhah (Pangeran Kusumawijaya), putra dari dari seorang Kiai bernama Sa'iduddin (Pangeran Ratnakusuma), cucu dari Kiai Saifuddin (Pangeran Adhisurya) yang merupakan pemimpin pesantren Rancang. Pesantren ini berlokasi di Desa Tengah Tani di tepi jalan utama Cirebon – Bandung, tidak jauh dari Desa Trusmi, Kecamatan Cirebon Barat, Kabupaten Cirebon. Jarak dari Kota Cirebon kurang lebih 3,5 km.
Sebelum dipimpin Kiai
Tolabuddin, Pesantren Rancang dipimpin Kiai Muji (terkenal dengan sebutan Kiai
Buyut Muji) tokoh Tarekat Sattariyah di Cirebon, demikian pula Kiai Tolabuddin.
Setelah menjalani masa
belajar yang panjang dimulai dari pesantren ayahnya, Syekh Tolhah meneruskan ke
Pesantren Babakan Ciwaringin. Setelah itu ia melanjutkan ke Lirboyo di
Ponorogo, lalu ke Gresik, Jawa Timur dan akhirnya kembali ke Pesantren Rancang.
Syekh Tolhah pergi
menunaikan ibadah haji, lalu melanjutkan belajar berbagai ilmu agama di Mekah
kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Sebelum kembali ke tanah air, ia ditetapkan
sebagai Khalifah TQN untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya, dalam usia 51 tahun.
Dua tahun kemudian Syekh Ahmad Khatib Sambas wafat di Mekah pada tahun 1878.
Seusai diangkat sebagai
khalifah TQN pada tahun 1876, Syekh Tolhah sempat mengajar di Pesantren
Rancang, membantu ayahnya yang semakin tua.
Karena situasi yang kurang
menguntungkan untuk dakwah Thoriqhoh Qodoriyah
Naqsyabandiyah (Pemerintah
Kolonial Belanda melakukan pengawasan ketat terhadap pergerakan penganut Thoriqhoh Qodoriyah Naqsyabandiyah), Syekh Tolhah meminta
izin dari ayahnya untuk membuka pesantren di tempat lain yang lebih aman dari
incaran aparat keamanan Belanda. Saat itu Belanda mulai mengetahui identitas
Syekh Tolhah, seorang ulama TQN yang baru kembali dari Mekah.
Pemerintah Kolonial Belanda
di Cirebon ternyata sudah memiliki daftar tokoh-tokoh tarekat yang pulang dari
Mekah. Data itu dikirim oleh Konsul perdagangan Belanda di Jeddah kepada
Gubernur Jendral di Batavia (Jakarta), lalu diteruskan kepada para residen
sebagai kepala wilayah.
Setelah melakukan survey,
tempat yang dipandang tepat untuk mendirikan pesantren agar terhindar dari
incaran aparat kolonial Belanda adalah Begong.
Begong yang letaknya di
tepi Sungai Kalisapu ini masuk wilayah Desa Kalisapu, Cirebon Utara. Jarak ke
pantai laut sekitar 1 kilometer, sedangkan ke Makam Sunan Gunung Jati 2
kilometer. Di sebelah timur terbentang rawa payau, hutan bakau, serta pohon
Rumbia dan jenis kayu lainnya yang pada masa itu masih cukup lebat.
Dari arah Cirebon, jalan
raya utama Cirebon – Indramayu km 8, setelah melewati Kompleks Sunan Gunung
Jati untuk sampai ke Begong harus menggunakan sampan. Jalan darat merupakan
jalan setapak, yang sulit dilalui terlebih saat musim hujan.
Sedangkan jarak dari Kantor
Polisi Kolonial Belanda di Kota Cirebon ke Begong kurang lebih 9 Km.
Di tempat yang situasi dan
kondisi seperti itulah Pesantren TQN pertama didirikan pada tahun 1879 oleh
Syekh Tolhah, seorang kiai yang menjadi khalifah dan mursyid TQN untuk wilayah
Cirebon.
Pesantren pertama TQN itu
konstruksi bangunannya terbuat dari bambu dan kayu pantai, beratap daun Rumbia
bercampur alang-alang. Desainnya berupa bangunan panggung yang cukup tinggi
untuk menghindari limpasan air Sungai Kalisapu pada setiap musim hujan serta
binatang buas.
Syekh Tolhah beserta istri,
putera-puteranya serta para santrinya tinggal di sana.
Pada waktu yang sulit
diketahui secara pasti tahunnya, Syekh Tolhah berangkat lagi ke Mekah dan
tinggal di sana beberapa waktu lamanya.
Saat ditinggalkan Syekh
Tolhah, Begong dilanda banjir cukup besar. Keluarga dan santri-santri mengungsi
ke kampung dekat Balai Desa Kalisapu, di pinggir jalan raya utama Cirebon,
Indramayu Km 8.
Pada saat itu tongkat kepemimpinan pesantren sementara diserahkan kepada Kiai Jauhari, saudara Syekh Tolhah se ayah.
Sepulang dari Mekah, atas
permohonan keluarga dan santri, pesantren ditetapkan di kampung dekat Balai
Desa Kalisapu. Begong sudah tidak layak lagi untuk sebuah pesantren karena
sering dilanda banjir.
Di tempat yang baru inilah
Syekh Tolhah mendirikan masjid yang diberi nama Masjid Kholwat, karena di
dalamnya terdapat tempat kholwat.
Pada tahun 1979 masjid ini
diperbaiki oleh Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (qs) dan diresmikan oleh
Gubernur Jawa Barat H. Aang Kunaefi.
Pada tahun 1888 di
Cilegon Banten, terjadi pemberontakan melawan Belanda yang dipimpin oleh
murid-murid Syekh Abdul Karim, Khalifah Thoriqhoh Qodoriyah Naqsyabandiyah di
Banten.
Akibatnya aparat keamanan
kolonial Belanda di Cirebon mengamati secara ketat sikap dan prilaku Syekh
Tolhah yang juga Khalifah TQN di Cirebon dan seperguruan dengan Syekh Abdul
Karim.
Pemerintah Belanda lalu
menangkap Syekh Tolhah, atas dasar laporan ulama-ulama anti TQN bahwa Syekh
Tolhah dalam setiap khutbah Jumat sering mengutarakan ujaran kebencian kepada
Ratu Belanda.
Setelah menjalani
pemeriksaan di Cirebon, Syekh Tolhah dibawa ke Jakarta untuk diperiksa oleh
Staff Gubernur Jendral Belanda. Berdasarkan hasil pemeriksaan di Batavia
(Jakarta) Syekh Tolhah dinyatakan tidak melakukan pelanggaran besar dan boleh
kembali ke Kalisapu. Namun aparat keamanan Belanda menjadi lebih intensif
mengawasi sikap dan prilaku Syekh Tolhah.
Pesantren terus berkembang.
Semakin banyak pelajar dan kiai dari berbagai daerah di luar Cirebon yang ingin
berguru kepada Syekh Tolhah. Di lain sisi, situasi dan kondisi saat itu tidak
menggembirakan karena pengawasan pihak Belanda.
Syekh Tolhah untuk
sementara memindahkan aktivitas pengajaran TQN ke Trusmi. Di Kalisapu tetap
diadakan kegiatan pengajaran TQN, hanya frekuensinya saja yang dikurangi. Syekh
Tolhah lebih sering menghabiskan waktunya di Trusmi, sesekali di Kalisapu.
Di Trusmi tantangan dan
gangguan terhadap pengembangan TQN ternyata lebih besar dibandingkan di
Kalisapu. Gangguan terbesar bukan dari Belanda, melainkan dari bangsa sendiri.
Pada tahun 1897 Syekh
Tolhah diajukan ke sidang Pengadilan Agama di Cirebon, didakwa oleh Kepala Desa
Trusmi telah meresahkan masyarakat karena merebut hak pemerintah desa dalam
mengelola benda dan bangunan kuno peninggalan Pangeran Trusmi (putra pertama
Sunan Gunung Jati) dan peninggalan Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu Cirebon (Uwa
Sunan Gunung Jati).
Keputusan pengadilan agama
Cirebon menyatakan Syekh Tolhah berhak penuh atas benda dan bangunan kuno,
karena Syekh Tolhah dinyatakan mempunyai hak yang kuat sebagai keturunan yang
sah dari Pangeran Trusmi.
Upaya Kades Trusmi yang
ingin melihat Syekh Tolhah keluar dari Trusmi dan mempermalukannya dengan
mengajukan perkara ke Pengadilan Agama di Cirebon tidak berhasil.
Hikmah dari gagalnya upaya kades tersebut menyebabkan banyak tokoh-tokoh masyarakat semakin bersimpati kepada Syekh Tolhah. Banyak warga yang berkunjung dan meminta penjelasan tentang ajaran TQN.
Selain itu mulai banyak
yang mengetahui bahwa Syekh Tolhah masih keturunan Pangeran Trusmi, putra Sunan
Gunung Jati yang makamnya tidak pernah sepi dikunjungi peziarah.
Hikmah lainnya, hubungan
Syekh Tolhah dengan Sultan Atmaja, Sultan Kasepuhan X menjadi lebih akrab.
Bahkan ia diangkat menjadi penasihat pribadi Sultan Atmaja.
Pada tahun 1890, Bupati
Kuningan meminta Syekh Tolhah mengajarkan TQN kepada pejabat-pejabat kabupaten.
Pada masa itu Bupati Kuningan adalah satu-satunya bupati yang berani dan
terbuka menjadi murid suatu tarekat.
Sejak pesantren didirikan
pertama kali di Begong hingga pindah ke Trusmi banyak santri, kiai dan pejabat
yang berguru kepada Syekh Tolhah. Dari sekian muridnya ada seorang yang sangat
menonjol, ia adalah Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian hari
dikenal sebagai Abah Sepuh atau Ajengan Godebag.
Abah Sepuh adalah santri
yang paling lama belajar kepada Syekh Tolhah, bahkan sudah menjadi keluarganya.
Semula Syekh Tolhah sudah
menunjuk calon penggantinya yaitu putra sulungnya, Kiai Malawi apabila saatnya
tiba beliau kembali ke rahmatullah. Namun Kiai Malawi meminta izin
untuk pergi ke Mekah dan tinggal di sana untuk menambah ilmu agama beberapa
tahun lamanya.
Setelah kembali dari Mekah
Kiai Malawi memohon untuk tidak menjadi khalifah TQN menggantikan Syekh Tolhah
yang juga ayahnya. Kiai Malawi masuk dalam daftar kiai yang dicari pemerintah
Belanda, sehingga dapat mengganggu perkembangan TQN.
Kiai Malawi diketahui
Belanda ikut terlibat dalam pemberontakan di Kedongdong yang terjadi sekitar
tahun 1890.
Pemberontakan Kedondong di
Kabupaten Cirebon yang disponsori para kiai ini sama besarnya dengan
pemberontakan Cilegon di Banten dan banyak kerugian diderita pihak Belanda.
Berdasarkan situasi dan
kondisi seperti itu, Syekh Tolhah menetapkan penggantinya kepada murid yang
memenuhi segala persyaratan untuk menjadi Khalifah/Mursyid TQN, yaitu Syekh
Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dari Tasikmalaya.
Pengukuhan pelimpahan
kemursyidan dilaksanakan di rumah Syekh Tolhah di Trusmi sekitar tahun 1900.
Meskipun telah resmi
menjadi calon pengganti Syekh Tolhah sebagai khalifah TQN, pengajaran TQN dan
talqin dzikir di Trusmi dan Kalisapu sewaktu-waktu masih diberikan oleh Syekh
Tolhah sendiri dibantu oleh Syekh Mubarok. Syekh Mubarok untuk beberapa tahun
berada di Trusmi dan Kalisapu membantu Syekh Tolhah.
Karena situasi yang memburuk bagi perkembangan TQN di Cirebon, Abah Sepuh diperintahkan segera membuka pesantren di Tasikmalaya untuk mengembangkan TQN di wilayah Jawa Barat sebelah timur dan pusatnya ditetapkan di Tasikmalaya.
Dengan hijrahnya pusat
pengembangan ke Tasikmalaya, maka aktivitas di Cirebon dikurangi sesuai dengan
keadaan yang terus berubah.
Syekh Tolhah masih terus
memonitor perkembangan yang terjadi di Tasikmalaya. Bahkan sekitar tahun 1908
pernah berkunjung ke Pesantren Suryalaya yang dibangun pada tahun 1905 oleh
Syekh Abdullah Mubarok atas prakarsa Syekh Tolhah.
Pada tahun 1935 Syekh
Tolhah kembali ke rahmatullah dalam usia yang sangat lanjut.
Beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Gunung Jati karena Syekh Tolhah masih
keturunan Sunan Gunung Jari dari jalur Pangeran Trusmi.
Upacara pemakamannya
berdasarkan ukuran pada masa itu termasuk upacara yang cukup besar. Sultan
kasepuhan dan beberapa pejabat pemerintah dan bangsawan keraton turut hadir.
Dengan wafatnya Syekh
Tolhah bin Tolabuddin maka ke Khalifahan Thoriqhoh Qodoriyah Naqsyabandiyah di Cirebon berakhir. Khalifah TQN berikutnya
berkedudukan di Suryalaya (Godebag) Tasikmalaya. Syekh Tolhah adalah khalifah
TQN generasi pertama di Jawa Barat.
Demikianlah sekelumit Jejak Sejarah Syekh Tolhah Bin Tholabuddin Kali Sapu Cirebon.
Sumber: buku
Menelusuri Perjalanan Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya, yang disusun oleh
R.H. Unang Sunardjo SH).
Comments
Post a Comment