Mukasyafah Sebagai Tahapan Menuju Ma'rifatulloh
Ma'rifatulloh adalah cita-cita tertinggi para Pecinta Kesucian Jiwa dalam upayanya untuk mengenal dan dekat dengan Alloh SWT. Dalam pandangan Tashowwuf, Ma'rifatulloh adalah ajaran inti dan tujuan utama dalam mengamalkan amaliyah Tashowwuf.
ma'rifatulloh |
Menurut tinjauan 'Ulama, Ma'rifatulloh adalah sifat orang-orang yang mengenal Alloh dengan nama-nama dan sifat-sifat Nya, kemudian ia membenarkan Alloh dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa kemudian lama berdiri mengetuk pintu Alloh. Dengan hati yang istiqomah, ia beritikaf menjauhi dosa-dosa sehingga memperoleh sambutan Alloh yang indah. Alloh membimbng dari segala keadaan, maka terputuslah gelora dan nafsu dari dirinya dan hatinya tidak pernah terdorong lagi untuk melakukan selain ini.
Untuk memasuki dunia Ma'rifat, maka diperlukan upaya, sarana dan cara, yang antara lain dapat ditempuh dengan Dzikrulloh, Suluk, Muroqobah, Musyahadah, dan Mukasyafah. Dari beberapa upaya, sarana dan cara tersebut, di kesempatan kali ini akan sedikit dibahas tentang Definisi/Pengertian daripada Mukasyafah.
Mukasyafah merupakan salah satu cara untuk menuju Ma'rifatulloh. Lalu, apa yang dimaksud dengan Mukasyafah, bagaimana terjadinya Mukasyafah, dan apa saja yang dapat menghalangi Mukasyafah?
Definisi dan Pengertian Mukasyafah
Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki - (Muchtar Solihin, Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, Rosda Karya Bandung 2002, hal. 146)
Pada penjelasan lain yang diuraikan dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang makna mukasyafah yaitu,
Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. - Risalah Al-Qusyairiah
Sementara di dalam Tafsir al-Qurthubi, dijelaskan:
Maka terbukalah hijab (tutupan), lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu (mukasyafah).
Berdasarkan kitab Sirooj Ath-thoolibin karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry, dikatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh yang merupakan hasil ma'rifatulloh ta'ala, ma'rifat kepada asma Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan ma'rifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutupan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi.
Di dalam kitab ihya ‘ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan (dzauq) yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”.
Berikutnya, menurut Syaikh AL-Kiram “Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa Mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini :
Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa:
“Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan 'arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar (berhati lalai).
Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham dan dzauq. Al jariri, seperti dikutif al-Thusi menyebut bahwa kasyf dapat diperoleh antara lain setelah seseorang betul-betul bertaqwa dan memiliki sifat muraqabah. Hal ini seperti di ungkapkan al-Jariri, “Barang siapa yang hubungan antara dirinya dengan Allah tidak disertai amal, ketaqwaan, dan muraqabah, maka tidak akan sampai kepada kasyf dan musyahadah atau penyaksian".4 Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional. Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia. .
Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Orang yang bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma'rifatnya.”
Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril ‘aqly (diatas puncak akal). Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT.
Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ujub (rasa hebat sendiri) yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan :
Ilmu terbagi atas tiga macam: Pertama ilmu dhohir (lahir) yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.
Mukasyafah dalam ilmu Tasawuf dibedakan menjadi dua :
1. Mukasyafah Rabbaniyah
Mukasyafah Rabbaniyah ini merupakan terbukanya tirai ketuhanan, sebagai mana firman Allah yang artinya :
Jadilah kamu orang-orang robbaniyah (atau ahlullah) dengan mengajarkan kitab dan dengan mempelajari kitab” (Al Imran, 79).
2. Mukasyafah Kegaiban
Berdasarkan kenyataan keghaiban, yang sering terjadi ada hubungan dengan bakat seseorang atau kemungkinan juga orang itu sebelumnya telah melakukan latihan- latihan tertentu yang didukung oleh bakatnya sehingga ia mampu melihat hal hal yang ghaib. Sementara orang menamakannya dengan pandangan tembus. Mereka yang berpandangan tembus, mampu melihat benda yang berbeda pada tempat yang jauh, tertutup atau gelap, atau mampu melihat peristiwa orang yang akan atau sedang terjadi di suatu tempat yang jauh. Orang yang memiliki kemampuan demikian ini bisa saja terjadi atau terdapat pada orang yang sama sekali buta terhadap tuhan, orang yang musrik atau kafir, bahkan anak-anak di bawah umur. Di dalam Islam hal ini dikenal dengan istilah khariqun lil adat (luar biasa) atau disebut dengan paranormal.
Istilah paranormal agaknya mulai popular sekitar dua atau tiga dasa warsa yang lalu, meskipun sebenarnya propesi paranormal itu sudah ada sejak lama, malah sejak zaman animism/dinamisme. Dikalangan ummat Islam pun ada dan banyak yang memiliki profesi ini, yang melakukan sesuatu di luar normal atau kebiasaan hanya istilah katanya saja yang mungkin berbeda. Yang ingin kita permasalahkan di sini adalah: "bagaimana sikap kaum muslimin atau mukminin menghadapi paranormal dalam kaitannya dengan ajaran Islam. Hal ini tidak lain bertujuan, hanyalah himbauan khusus kepada kaum muslimin agar jangan sampai tergelincir Iman dan I'tiqadnya kepada Allah SWT.
Mukasyafah dapat terhalangi oleh hati yang penuh noda dan dosa. Al-Ghazali menjelaskan beberapa penghalang tertangkapnya objek pengetahuan secara jernih oleh hati:
- Hati belum dilengkapi alat untuk menangkap objek pengetahuan karena masih belum sempurna sebagai perlengkapan pengetahuan, seperti pada anak-anak.
- Hati terkotori oleh nafsu yang membawa dosa dan setiap kecenderungan pada dosa akan meninggalkan noda yang membekas dalam hati. Dalam hal ini dapat kita rujukkan pada sabda Nabi Muhammad, sama seperti dikutip Ali Isya Ottoman , “Barang siapa melakukan dosa, sebagian kecil dosanya akan hilang dan tak kembali lagi.” Al-Ghazali menulis sebagaimana dikutip oleh Zurkani Yahya, adapun segala perbuatan terpuji niscaya membuat cermin hati menjadi terang dan bersinar, sehingga bersinar-sinarlah didalamnya hakikat kebenaran dan tersingkaplah kepadanya segala hakikat sesuatu yang diupayakan diupayakan dalam beragama ..., sedangkan segala perbuatan tercela itu dapat diumpamakan dengan asap hitam yang menyelubungi kata hati dan senantiasa meliputinya. Bila perbuatan tercela tersebut terus dikerjakan sehingga hati menjadi kelam dan menghitam terdinding dari Allah. Al-Ghazali juga melihat adanya bahwa adanya pengaruh perbuatan lahir terhadap situasi bathin adalah berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Bahkan ia juga berpendapat bahwa situasi hati berpengaruh pula terhadap sifat dhohir sehingga prinsip adanya pengaruh timbal balik antara fisik dan psikis. Dalam psikologi modern sudah digunakan Al-Ghazali dalam sufismenya.
- Hati pada awalnya mengkilat dan bebas dari noda, kemudian terpengaruh dan terbelokkan dari arah objek pengetahuan itu berada. Ini disebabkan oleh perhatianya banyak dicurahkan pada urusan-urusan kemewahan duniawi.
- Hati yang dipenuhi sikap taklid buta. Oleh karena itu, jika hati ingin menerima kasyaf, semua penghalang tadi harus di bersihkan.
Diakhir tulisan sederhana ini penulis bisa menyimpulkan sebagai berikut : Mukasyafah bisa diartikan : “Kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu”. Menurut Risalah Al Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Orang yang bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma'rifatnya.
Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat individual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dengan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negatif atau dapat menimbulkan perasaan ʻujub (rasa hebat sendiri) yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan.
- Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa, Karya Agung, Surabaya, 2008.
- Syifa al-Qulub, vol, 1 No. 1, Juli, 2016
- Risalah Qusyairiyah, terjemah, Muhammad Luqman Hakim, Risalah Gusti, Surabaya, 2006.
- Muchtar Solihin, Tasawuf Tematik, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
- Muchtar Solihin, Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, Rosda Karya, Bandung, 2002.
Comments
Post a Comment