Kyai Masykur Pejuang NU
KH. Masjkur atau Masykur adalah salah satu dari sekian banyak Ulama dari kalangan NU yang turut aktif berjuang untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia sekaligus mempertahankannya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, beliau juga masih aktif terlibat dalam upaya-upaya untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah baik melalui saluran pendidikan, Politik, Agama, bahkan militer.Perjuangannya melalui saluran militer nampak menonjol ketika zaman pendudukan Jepang sebelum kemerdekaan RI hingga ketika beliau menjadi Komandan Tentara Sabilillah yang turut berperan aktif dalam bergerilya bersama pasukan TNI dibawah komando Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Mengenai kapan beliau dilahirkan, penulis merasa belum dapat memastikan kapan tepatnya beliau dilahirkan. Jika mengutip dari sumber wikipedia maka disana disebutkan bahwa beliau KH Masjkur lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 30 Desember 1904 dan wafat pada 19 Desember tahun 1994 pada usia 89 tahun. Sementara terkait dengan kelahiran KH Masjkur, dalam sebuah artikel di halaman website PBNU yang beralamat di http://www.nu.or.id/post/read/61781/kh-masjkur-komandan-barisan-sabilillah , disebutkan bahwa KH Masjkur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur pada tahun 1899 masehi atau bertepatan dengan
1315 Hijriyah.
Sebelum beliau memulai perjuangannya untuk Indonesia, beliau terlebih dahulu membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keilmuan tentang Agama Islam dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagaimana dikutip dari nu.or.id, disebutkan bahwa beliau memulai jalan pendidikannya dengan mengenyam pelajaran agama di beberapa pesantren dengan berbagai konsentrasi keilmuan, antara lain di Pesantren Keresek Cibatu Garut Jawa Barat, Pesantren Bungkuk Malang di bawah asuhan Kiai Thohir, Pesantren Sono Bundaran Sidoarjo untuk belajar nahwu sharaf dan di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo untuk memperdalam ilmu fiqih. Kemudian, di Tebu Ireng Jombang, ia menimba ilmu hadist dan tafsir dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, Masjkur muda juga pernah berguru kepada Syaikhona
Kholil Bangkalan Madura. Maka lengkap sudah, modal awal yang dimilikinya untuk menjadi seorang calon ulama dan pemimpin umat. Ia juga sempat menjadi santri di Pesantren Jamsaren Surakarta, di bawah asuhan KH Idris, seorang kiai keturunan pasukan Pangeran Diponegoro. Di pesantren ini pula, ia bertemu dengan kawan-kawannya yang kelak juga menjadi pemimpin umat, antara lain KH Mustain (Tuban), KH Arwani Amin (Kudus) dan sebagainya. Sifat Kiai Idris yang terkenal non-kooperatif terhadap Belanda, ikut tertanam dalam jiwa sang murid, yang sedikit banyak mulai memahami arti penting perjuangan.
Berbekal pendidikan dan pengetahuannya yang luas tentang agama Islam inilah kemudian beliau memulai perjuangannya melalui saluran pendidikan dan keagamaan. Dimana di usianya yabg masih tergolong muda, beliau mendirikan sebuah pesantren yang kala itu diberi nama Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) yang berlokasi di daerah Singosari Malang pada tahun 1923. Namun ketika suasana perang berkecamuk dan kondisi dalam negeri sedang kacau, demi mempertahankan pesantrennya akibat sering mendapat gangguan dari pemerintah kolonial, beliau kemudian mengganti nama pesantrennya tersebut menjadi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) atas saran dari KH Wahab Hasbullah.
Ketika itu beliau sedang aktif sebagai salah seorang Pengurus Cabang NU di Kota Malang. Dimana pada tahun 1932 beliau menduduki jabatan sebagai Ketua Cabang NU Kota Malang. Dan kemudian pada 1938 beliau diangkat menjadi salah satu Pengurus di PBNU Pusat yang kala itu berkantor di Surabaya.
Ketika itulah KH Masjkur melanjutkan perjuangannya melalui jalur Organisasi dan Politik. Yang mana beliau juga merupakan salah satu anggota dari BPUPKI yang cukup berperan dalam proses Kemerdekaan Indonesia. Kemudian di dalam pemerintahan Republik Indonesia beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada beberapa kabinet di masa itu. Terkait perjalanan karir beliau dalam organisasi dan politik, dikutip dari wikipedia bahwa deretan karir beliau adalah sebagai berikut:
Organisasi
- Ketua Cabang NU, Malang (1926-1930)
- Anggota PB NU (1930-1945)
- Ketua Umum PB NU (1950-1956)
- Ketua Golongan Islam DPR/MPR (1957-1971)
- Ketua I PB NU (1957-1959)
- Ketua Umum Pusat Sarbumusi (1960-1969)
- Rois Awal PB NU (1963-1972)
- Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PPP/Wakil Presiden PPP (1973- 1985)
- Rois Tsani PB Syuriah NU (1979-1984)
- Mustasyar PB NU (1984)
Politik dan Pemerintahan
- Menteri Agama RI (1948-1950)
- Kepala Kantor Urusan Agama Pusat (1950-1953)
- Menteri Agama RI (1953-1955)
- Anggota DPR (1956-1960)
- Anggota DPRGR (1960-1971)
- Biro Politik Kotrar (1962-1966)
- Anggota DPA (1968)
Sementara itu, perjuangan dan karirnya dalam bidang militer dimulai ketika keinginan untuk terbebas dari belenggu penjajahan, membuat putera bangsa ini turut serta mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan.
Dimana pada zaman pendudukan Jepang, KH Masjkur menjadi utusan dari Karesidenan Malang untuk mengikuti latihan kemiliteran di Bogor, yang disusul dengan latihan khusus bagi ulama. Pada masa 1944-1945 beliau juga merupakan salah satu anggota Pengurus Latihan Kemiliteran di Cisarua Bogor. Dimana pada 1943 beliau juga mendirikan Peta di Jawa. Dari situlah, “karir dan perjuangannya” di bidang militer dimulai. Ia berjuang bersama pasukan Hizbullah. Hingga, sejak 1945-1947 ia diangkat menjadi Ketua Markas Tertinggi Sub. Bagian Sabilillah yang berpusat di Kota Malang. Pada masa 1944-1946 KH Masjkur juga termasuk kedalam salah satu Anggota pada PPKI pada 1944 dan Anggota KNIP pada 1945-1946. Sementara pada periode 1946-1948 beliau juga aktif sebagai Anggota Dewan Pertahanan Negara.
Sebagai Komandan Barisan Sabilillah, beliau juga turut serta bergerilya bersama Komandan Tertinggi TNI kala itu yaitu Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sedang berjuang dengan bergerilya melawan kolonial Belanda sekaligus dalam rangka membela negara dari pemberontakan PKI di Madiun yang di Pimpin Oleh Muso.
Peberontakan PKI-Front Demokrasi Rakyat pimpinan Muso itu juga difasilitasi Belanda sebagai bentuk politik divide et impera (memecah belah) untuk melumpuhkan Indonesia dari dalam agar Belanda mudah untuk merebut kembali Republik Indonesia sebagai negara jajahannya. Pada hari Ahad 19 Desember 1948 ketika republik ini menghadapi pemberontakan PKI, situasi kacau ini dimanfaatkan Belanda untuk kembali
melakukan Agresi Kedua menduduki Ibu Kota RI Yogyakarta dan menangkap Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Muhammad Hatta. Dengan didudukinya Yogyakarta, maka satu-persatu daerah
stretegis di Jawa diduduki oleh Belanda.
Tentara Indonesia di bawah Pimpinan Jenderal Sudirman dengan didukung pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin KH Masykur dan KH Zainul Arifin dari NU terus melakuakn perang. Sebaliknya PKI Pesindo yang juga berambisi mengambil alih kekuasaan dengan jalan pintas, tertarik dengan agenda Belanda itu, karena itu mereka melakukan pemberontakan pada saat bangsa ini sedang melakukan revolusi nasional.
Dengan didudukinya Jogya oleh Belanda maka perang gerilya dilanjutkan diberbagai daerah, termasuk daerah yang selama ini menjadi basis PKI seperti Madiun, Ponorogo dan Trenggalek. Bahkan Jenderal Sudirman sebagai pemimpin tertinggi TNI melakukan serangan pada Belanda dengan mengambil basis di Trengalek.
Kemudian pimpinan kesatuan militer yang lain yaitu KH Masykur Komandan Sabiliillah yang juga ketua PBNU itu melakukan gerilya di Trenggalek bersama Jenderal Sudirman. Persatuan TNI-Sabilillah inilah yang kemudian mampu menghadang laju Agresi Belanda dan sekaligus mampu membendung gerakan sisa-sisa PKI yang masih berkeliaran di kawasan Selatan Jawa itu.
Dalam perjalanan dari Solo, Madiun hingga Trenggalek itu KH Masykur menemukan desa-desa yang dilewati itu menjadi korban, puluhan orang meninggal, harta benda dirampas oleh PKI. Dengan kesigapan aparat TNI dan seluruh kekuatan rakyat terutama kelompok Hizbullah dan Sabilillah, maka kekuatan PKI-Pesindo itu dengan mudah dapat ditaklukkan. Dengan kekuatan penuh dari TNI dari Divisi Siliwangi dan ditopang oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah keadaaan bisa dipulihkan. Mengingat kekuatan PKI yang telah sedemikian kuat dan menyebar yang meliputi kawasan Jawa Timur dan Jawa tengah, maka pasukan pemerintah harus bekerja keras dan cepat. Dengan
kerja kerasnya itu maka, kesatuan Republik bisa dipertahankan persis pada 30 September 1948 Madiun dan semua daerah yang diduduki PKI telah direbut kembali. Penaklukan ini disiarkan melalui radio RRI yang sudah dikuasasi kembali oleh TNI.
Selepas 1948 perjuangan beliau lebih banyak berlanjut pada bidang pemerintahan dan organisasi yang antara lain sebagai Menteri Agama dan menyusun Kantor Urusan Agama, pengadilan agama, juga jabatan penting lainnya. Hingga pada 1975 KH Masjkur masuk menjadi anggota PP Legiun Veteran RI yang selanjutnya pada 1976-1994 beliau menjadi Ketua III Dewan Harian Nasional Angkatan 45.
Sebagaimana yang ditulis dalam nu.or.id pada tanggal 25 Agustus 2015, dikatakan bahwa Saat kembali menjadi Menag, di tahun 1954 Kiai Masjkur memprakarsai Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas Jawa Barat. Pertemuan para ulama tersebut, salah satunya menetapkan gelar “Waliyul Amri Dlaruri bis Syaukah” (pemegang pemerintahan dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh) untuk Presiden Soekarno. Penetapan tersebut berdasar pada pertimbangan syara’, yakni Presiden RI saat itu terpilih belum memperoleh “baiat” dari rakyat karena tidak dipilih melalui Pemilu. Penetapan itu sekaligus menghapus kecurigaan dari golongan tertentu, apakah umat Islam Indonesia mengakui kepemimpinan Soekarno (RI) atau Kartosuwiryo (DI/TII).
September 1951, menjelang dilaksanakannya Muktamar NU ke-19 yang akan dihelat di Palembang, Saat itu NU masih masuk dalam Masyumi, PBNU membentuk sebuah badan yang bernama Majelis Pertimbangan Politik (MPP) PBNU, terdiri dari 9 ulama, termasuk di dalamnya Kiai Masjkur. Badan tersebut dibentuk dalam sebuah rapat PBNU yang diadakan di sebuah rumah milik KH Abdulmukti, Jl. Slamet Riyadi 45 Solo.
Kemudian, Muktamar NU ke-19 digelar 26 April – 1 Mei 1952 dan menghasilkan sebuah keputusan penting : NU memisahkan diri dari Masyumi!
Sejak Muktamar NU ke-19, Kiai Masjkur memimpin NU sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. bersama KH Wahid Hasyim yang menjadi Ketua Muda. Sedangkan posisi Rais ‘Aam masih dipegang KH Wahab Chasbullah.
Namun, setelah wafatnya KH Wahid Hasyim serta diangkatnya KH Masjkur kembali menjadi Menteri Agama, maka PB Tanfidziyah sehari-hari dipimpin oleh KH M Dahlan.
Kiai Masjkur terus berjuang bersama NU hingga akhir hayatnya. Tercatat selepas menjadi ketua, ia tetap aktif di kepengurusan PBNU yakni anggota tanfidziyah (1954-1956), Ketua Fraksi Konstituante Partai NU (1956-1959), Ketua Sarbumusi (1959-1962), Rais Syuriyah (1967-1971, 1971-1979) dan Mustasyar (1984-1989, 1989-1994). Hingga wafat pada tahun 1992, Kiai Maskjur masih tercatat dalam kepengurusan Mustasyar PBNU.
Kiai Masjkur dimakamkan di pemakaman yang terletak di kompleks Masjid Bungkuk Singosari Malang, yang juga terdapat makam KH Nahrawi Thohir dan Kiai Thohir. Lahumul-fatihah!
Wallahu A'lam Bi Showab.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thoriq.
Wassalamu Alaikum Wa Rohmatullah Wa Barokaatuh.
Comments
Post a Comment