Sejarah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah
Apa itu Thariqoh Qadiriyah Naqsabandiyah atau Thoriqah Qoodiriyah Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat dalam dunia tasawuf Islam yang merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah. Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah ini pertama kali dibawa oleh Syaikh Achmad Khotib Al Syambasi di Makkah pada awal abad ke-13 hijrah/ abad ke-19 M.
Tarekat Qodiriyah Naqsyanbandiyah
atau biasa disebut dengan singkatan TQN
atau biasa disebut dengan singkatan TQN
adalah termasuk tarekat yang mu'tabarah atau tarekat yang diakui keabsahannya baik secara amaliah maupun sanadnya. TQN ini juga secara resmi telah diakui oleh JATMAN-NU (Jamiyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh An-Nahdliyah-Nahdlatul Ulama).
Latar belakang daripada lahirnya Thariqoh Qadiriyah Naqsabandiyah ini bermula pada kisaran abad ke 19 Masehi. Yang dibawa oleh seorang sufi besar asal Indonesia yang bermukim di Makkah yaitu Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi. Berdirinya Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam dunia pada umumnya dan khususnya di Indonesia.
Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas keresahan umat akan merebaknya ajaran wihdah al-wujud yang lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai syariat Islam. Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.
Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.
Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Syekh Sufi besar yang saat itu menjadi Imam Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi al-Jawi (w.1878 M). Dia adalah ulama besar nusantara yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi adalah mursyid Thariqah Qadiriyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi thariqoh Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan beliau mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian beliau menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqoh Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.
Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.
Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh Thalhah bin Tholabudin yang bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu, Gunungjati, Cirebon. Selanjutnya disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun, mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syaikh Tolhah Bin Tholabudin (dalam silsilah urutan ke-35). Selanjutnya Pondok Pesantren Suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Dengan demikian, Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke-36 setelah Syaikh Tholhah bin Tholabudin dari Kalisapu Cirebon.
Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan murid-muridnya dikenal dengan panggilan Abah Sepuh. Karena usia memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 115 tahun. Di antara murid-muridnya ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinannya. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5, yaitu Abah Anom, yang memiliki nama Asli yaitu Syaikh K.H. Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin yang kemudian diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian.
Oleh karena itu para ikhwan tarekat memanggil "Abah Anom" (Kyai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad atau Abah Sepuh sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, kemudian ke-Mursyidan Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah dilanjutkan oleh Abah Anom atau Syaikh K.H.A. Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) sebagai Mursyid TQN ke-37. Dimana Abah Anom sebagai Mursyid ke-37 TQN Pondok Pesantren Surlaya mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia. Dan salah satu Murid Abah Anom yang paling dipercaya dan diyakini mewarisi karomah dan kharisma kemursyidan Abah Anom adalah Syaikh Muhamamad Abdul Gaos Syaifullah Maslul atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Aos, dimana beliau (Abah Aos) juga merupakan Wakil Talqin TQN Pondok Pesantren Surlaya sekaligus murid Abah Anom yang paling dipercaya dalam menjalankan tugas-tugas ke-thoriqoh-an yang dititahkan oleh Abah Anom sehingga kelak beliau diberi gelar oleh Abah Anom yaitu 'Syaifullah Maslul".
Abah Aos, atau Syaikh Muhammad Abdul Gaos Syaifullah Maslul, kemudian diangkat oleh ikhwan dan akhwat TQN Pondok Pesantren Suryalaya sebagai "Mursyid" paska wafatnya Abah Anom. Abah Aos dengan demikian menjadi Mursyid TQN PonPes Suryalaya yang ke-38 hingga saat ini.
Abah Aos, atau Syaikh Muhammad Abdul Gaos Syaifullah Maslul, kemudian diangkat oleh ikhwan dan akhwat TQN Pondok Pesantren Suryalaya sebagai "Mursyid" paska wafatnya Abah Anom. Abah Aos dengan demikian menjadi Mursyid TQN PonPes Suryalaya yang ke-38 hingga saat ini.
Ajaran Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah
Ajaran Syaikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya beliau yakni Kitab Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini kemudian dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. Kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, zikir, muroqobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut adalah karena pertimbangan logis dan strategis. Kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dan metode dzikirnya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang paham Wihdatul Wujud, Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahar Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsyabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut.
Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi ajaran inti dari lima tarekat, yaitu:
- Tarekat Qadiriyah,
- Tarekat Naqsyabandiyah
- Tarekat Anfasiyah,
- Junaidiyah, dan
- Tarekat Muwafaqah (Samaniyah).
Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini belum berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara), meskipun secara personal para penganutnya sudah tersebar di hampir seluruh penjuru dunia.
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu dan ta'dhim Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Dia tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tata cara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran inti dalam tarekat ini diyakini paling efektif dan efisien untuk menghantarkan pengamalnya kepada tujuan tertinggi yakni Allah swt. Ajaran sufistik dalam tarekat ini selalu berdasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin. Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu:
- tentang kesempurnaan suluk,
- adab(etika),
- dzikir, dan
- muraqabah.
Comments
Post a Comment